“Tahun 2001, saya pernah bermimpi membaca surat Al Fatihah dan bertemu dengan seorang kakek memakai jubah putih.”
“Orang yang saya jumpai dalam mimpi itu berpesan bahwa seandainya ketakutan, sakit, atau apapun, saya disuruh membaca surat Al Fatihah.”
“Saya sama sekali tidak tahu apa makna Al Fatihah walapun ketika SD saya sering mendengar teman-teman baca surat itu.”
“Saya tanya kepada teman maksud mimpi saya disuruh membaca Al Fatihah.”
“Akhirnya saya diberi Al Quran terjemahan dan saya baca artinya ternyata maknanya sangat mendalam.”
“Saya tahu bahwa Al Fatihah hanya milik umat Islam.”
Mimpi itu barangkali tidak begitu mengusik bintang sinetron Natalie Sarah, bila datang saat ini. Hanya saja, mimpi itu mengampiri saat dia berusia 18 tahun dan belum menjadi seorang muslimah. Tak lama setelah mimpi itu, dia menjadi mualaf.
Ketakutan bakal diusir dari keluarga, dijauhi teman-teman, dan saudara menghantuinya begitu dia mengikrarkan memeluk Islam sejak Juli 2001. Gadis berdarah Aceh-Sunda kelahiran 1 Desember 1983 ini sadar, keluarganya begitu fanatik memegang agamanya. Begitu juga keluarga besarnya.
Sangat sulit bagi mereka untuk menerima jika salah satu anggota keluarganya menjalani keyakinan lain. Tapi tekadnya sudah bulat. Dia pun memantapkan keyakinannya dalam pelukan Islam.
“Jauh sebelum saya mengucapkan dua kalimah syahadat untuk masuk Islam, sudah kepikiran nantinya bakal jadi urusan keluarga. Ternyata memang benar. Semua mualaf mengalamai hal seperti itu,” ujarnya pada sebuah kesempatan.
Sarah menemukan Islam pada usia belia. Saat itu, rumah tangga orang tuanya di ambang perceraian. Tak ingin kehilangan sandaran, dia mencari pegangan hidup sendiri.
Beruntung, dia bertemu sahabat yang benar. Dia kerap mengikuti sahabatnya mengaji di Pesantren Daarut Tauhid yang diasuh KH Abdullah Gymnastiar. Lama-lama, dia menemukan damai dalam Islam.
Islam yang dipejarinya, adalah Islam yang sejuk. Islam yang mengajarkan bagaimana menata hati. Hal itu bertolak belakang dengan pemahamannya sebelumnya tentang Islam.
“Karena selama ini saya mendengar bagaimana banyak ustadz ceramahnya hanya mendiskreditkan agama tertentu,” katanya mengakui.
Bahkan pada hari pertama mengaji, dia sudah menitikkan air mata.
“Ketika itu ada segmen kembali kepada diri kita sendiri atau merenung, saya menangis di situ. Waktu pengajiannya malam setelah salat Isya.”
Sarah pun ketagihan mengaji pada Aa Gym, walaupun saat itu dia belum menjadi muslimah. Bahkan, saat temannya yang pertama kali mengajak mengaji mulai jarang datang, dia tetap bersemangat. Dia sengaja mengikuti pengajian di malam hari.
“Takut teman-teman lain yang tahu saya non-Muslim teriak, Sarah, elu ngapain bukan Muslim ada di sini?” ujarnya.
Setelah sangat yakin dengan Islam, dia pun memutuskan masuk Islam. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat di Bandung, Jawa Barat saat masih duduk di bangku kelas tiga SMK, beberapa saat menjelang kelulusan. Karena alasan takut itu, dia pun bersyahadat secara sembunyi-sembunyi. Hari-hari setelah menjadi Muslim dilaluinya dengan banyak cobaan.
“Komunitas bermain saya sedikit-demi sedikit berubah,” ujarnya.
Di sisi lain, ada ketakutan yang sangat akan sikap keluarganya. Lulus SMA, dia pindah ke Jakarta menemani ibunya, Nurmiaty.
“Akhirnya, di sana saya benar-benar seperti ayam kehilangan induk, karena nggak ada teman. Sementara sejumlah keluarga mama sering datang ke rumah dan mengajak pergi beribadat,” ujarnya.
Sarah berusaha berkelit untuk tidak pergi dengan berbagai alasan; malas, ketiduran, dan sebagainya.
“Tapi, lama-lama keluarga saya bisa curiga, kenapa ini anak? Nanti bisa ketahuan.”
Lalu diatur lagi siasat setiap malam Minggu, dia menginap di rumah teman. Sesekali, dia turut ke tempat ibadat agama keluarganya. Namun, dia mengunci mulutnya sambil mengucapkan doanya sendiri pada Allah SWT.
“Teman ada yang menegur, ‘Sar, kamu kok nggak nyanyi?’ Saya bilang, ‘Itu lagu baru, saya nggak hafal’. Dalam hati saya sibuk berzikir pada Allah.”
Ria pun selama beberapa tahun sembunyi-sembnyi melakukan ibadah. Pernah suatu hari tas miliknya diperiksa dan ternyata ada buku panduan salat di dalamnya. Mengetahui hal ini, dia berujar, “Buku itu milik teman yang ketinggalan dan saya bawa.”
Di kalangan teman-temannya, dia tetap mengaku sebagai pemeluk agama lamanya. Begitu pula ketika dia memasuki dunia sinetron.
“Semua kru menganggap saya non-Muslim. Tapi, ada beberapa teman yang membocorkan bahwa saya ini sudah masuk Islam tapi tidak mau mengaku.”
Ketika masuk waktu salat, dia melaksanakan salat sendirian secara sembunyi-sembunyi setelah pemain dan kru lain selesai salat. Sejak 2001 sampai memasuki awal tahun 2003, dia beribadah secara sembunyi-sembunyi. Tabir mulai terbuka pertengahan tahun 2003.
Pamannya yang Muslim meninggal dunia. Sama seperti dia, sang paman juga menyembunyikan identitas kemuslimannya. Saat itu keluarga besarnya hampir menguburnya sebagai seorang non-Muslim, sampai ditemukan identitas yang menunjukkan kemuslimannya. Dari kejadian pamannya itu, Sarah seperti mendapat sindiran dari lingkungan keluarga.
“Makanya kalau agama itu harus jelas. Islam ya ngaku Islam, kalau non-Muslim ya non-Muslimn. Kalau seperti kejadian ini serba tanggung jadi dikuburnya bingung,” kata seorang keluarga seakan menohok dirinya.
Namun lagi-lagi, dia tak punya nyali untuk mengaku telah menjadi muslimah pada keluarganya. Dia hanya berpesan pada sahabatnya, “Seandainya saya meninggal, tolong dikuburkan secara Islam. Itu wasiat lisan kepada teman karena soal umur siapa yang tahu.”
Kini pertimbangannya bukan lagi takut diusir keluarganya. Secara ekonomi, dia mapan. Dia hanya kasihan pada mamanya, yang pasti akan dihujat keluarga besarnya. Dia menuturkan, tahun 2003 sebenarnya kabar keislamannya sudah tercium media infotainment.
“Mereka memberitakan Natalia Sarah telah menjadi seorang mualaf,” ujar pemilik nama Natalia Sarah, namanya sebelum menjadi Muslim.
Untungnya jam tayangnya pagi hari, sehingga tak banyak orang-orang dekatnya yang tahu. Memasuki 2004 berita itu semakin santer.
Keluarganya banyak yang tahu.
Tapi mereka diam karena beranggapan nanti bakal balik lagi seperti artis yang lainnya.
Namun, kata dia, “Juni 2005 saya punya keinginan kuat berumrah. Mendengar kabar saya mau umrah, keluarga geger. Mereka pun datang ke rumah untuk menyidang saya.” Keinginan itu berawal dari sibuknya dia hingga jatuh sakit dan tak berpuasa.
Dia sempat pingsan sejenak dan tiba-tiba dia merasa tengah berada di tengah lautan manusia yang sedang bertawaf. Bahkan sampai tersadar, bibirnya masih melafalkan ‘labaika Allahumma labaika’.
“Sejak hari itu saya menabung dan meniatkan berumrah,” ujarnya.
Ketika hendak berangkat, Sarah menemui keluarganya dan sempat menangis.
Dia berujar lirih, “Ya Allah, masak saya tidak boleh untuk menginjakkan kaki ini ke Tanah Suci-Mu.”
Kini, keluarga besarnya sudah memahami pilihannya memeluk Islam. Mereka menghormati. Begitu juga mama dan adik-adiknya. Dia sungguh bersyukur.
sumber : tribunnews.com