Tabungan Sekolah Rp 42 Juta Tak Diakui Wali Kelas, Siswa MTS Ini Coba Bunuh Diri

Saat mengetahui tabungannya sebesar Rp 42 Juta tidak diakui oleh pihak sekolah, Rosita (15) depresi. Siswi kelas 9 MTS Negeri Tumpang, Kabupaten Malang, ini mencoba bunuh diri meminum obat sakit kepala dicampur minuman bersoda.



Merasa uang tabungannya tidak diakui, membuat Rosita panik, dia takut jika nanti orang tuanya menanyakan dan meminta uang tabungan itu. Karena dalam setiap menabung, Rosita mendapatkan uang dari kedua orang tuanya. 

Sangking takutnya, putri pasangan Wijiyati dan Suryono ini memilih bunuh diri dengan menenggak beberapa butir pil obat sakit kepala dengan minuman bersoda.
Tabungan Rp 42 Juta yang Tak Diakui Sekolah, Siswa MTS Ini Coba Bunuh Diri
Catatan tabungan yang Dimiliki Ibu Rosita


"Minum paramex dengan sprite. Untung di rumah, jadi langsung bisa ditolong," ujar Wijiyati, ibunda Rosita, Selasa (20/6/2017).

Sulung bersaudara itu, sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Dengan alasan mendekati lebaran, keluarga memilih agar Rosita mendapatkan perawatan jalan.

"Karena lebaran rawat jalan saja. Ini juga takut dia akan bunuh diri lagi, makanya kami perhatikan betul," kata Wijiyati.


Menurut dia, putrinya memang agak berbeda ketika diminta untuk menagih uang tabungan di sekolah. Pada awalnya, Wijiyati tidak mengetahui, jika uang tabungan itu tak diakui. "Baru tahu saat mau bunuh diri," tuturnya.

Rosita sempat mengaku, kalau uang yang disetor untuk ditabung tidak diberikan oleh wali kelas. Hal itulah yang mengakibatkan dirinya panik, karena orang tuanya terus meminta hasil uang ditabung.

"Iya itu, gurunya tak memberikan. Katanya tidak ada tabungan, dengan jumlah sampai Rp 42 juta seperti yang kami miliki dalam catatan," jelas Wijiyati.

Wijiyati, ibunda Rosita menerangkan, awal uang tabungan mulai disetor ke wali kelas pada 24 September 2016 sebesar Rp 20 juta. Nilainya memang cukup besar, tapi Wijiyati bersama Suryono punya alasan, kenapa uang itu ditabungkan ke sekolah.

"Kami pikir nanti saat lulus bisa diambil. Untuk Rosita masuk SMA, dan kebutuhan lebaran. Kami percaya saja, karena ditabung di sekolah," terang Wijiyati.

Selama duduk di bangku kelas 9, Rosita telah berulangkali menyetor uang tabungan, uangnya berasal dari kedua orang tuanya. Hingga jumlahnya mencapai Rp 42,7 juta, uang sebesar itu diyakini telah ditabung karena keluarga Rosita memiliki catatan.

"Semua yang menabung Rosita dan kami selalu mencatat. Tetapi ketika mau diambil, katanya tidak ada. Aneh, karena ketika waktu bayar SPP, wali kelas selalu menawari untuk dipotong dari uang tabungan," jelas ibu dua anak ini.

Wijiyati sangat menyesalkan sikap dari wali kelas yang tidak mengakui, bila putrinya pernah menabung. Padahal, uang tabungan langsung diberikan kepada wali kelas.

"Aneh, setor ke wali kelas. Tapi tak diakui, kami kesal," sesal Wijiyati.

Pertemuan untuk menyelesaikan masalah itu sempat digelar pihak sekolah, namun justru semakin menambah kejengkelan keluarga Rosita. Karena, wali kelas tetap saja membantah, pernah menerima uang tabungan Rosita.

"Percuma ada pertemuan, uang kami tidak diakui," ujar Wijiyati.

Keluarga Rosita enggan membawa perkara ini ke jalur hukum. Menurut mereka, penyelesaian dengan cara begitu, tidak akan mengembalikan uang tabungan Rosita.

"Kami hanya ingin uang itu diberikan. Daripada lapor ke polisi, sampai bapaknya menantang untuk sumpah pocong," tegas Wijiyati.

Sampai kapanpun, lanjut dia, akan terus berupaya menagih uang tabungan itu. Apalagi, dirinya sangat membutuhkan uang, untuk sekolah Rosita ke jenjang berikutnya (SMA) dan lebaran.

"Tetap kami akan menagih," tandasnya.