Sudah Jadi Pilihan yang Praktis, Tapi Bolehkah Muslimah Naik Ojek? Awas Maksiat Ya

Muslimah Naik Ojek, Bolehkah? Bukankah itu termasuk bagian dari Ikhthilat?
Ikhtilath artinya adalah bertemunya laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu (misal bicara, bersentuhan, berdesak-desakan, dll). (Said Al Qahthani, Al Ikhtilat, hlm. 7).


Nah, bagaimana dengan muslimah yang naik ojek? Bukankah sama saja dengan hal tersebut?

Ada satu hal yang mengganjal seputar beberapa teman muslimah. Mereka begitu biasa memanfaatkan ojek motor. Memang, banyak lokasi di negara kita yang tidak ada alat transportasi lain kecuali ojek. Sebenarnya ada angkot, tapi biasanya juga tidak masuk gang. Benar bukan? Meskipun jalan melewati gang tidak begitu jauh. Tapi beberapa muslimah jadi terbiasa membonceng ojek.

Pertanyaannya, bagaimana dengan citra dakwah kalau masyarakat melihat akhwat begitu ringan berbonceng motor dengan yang bukan mahram? Dan kedua, bagaimana hukum fikih menjawab masalah itu? Terus terang beberapa orang pasti risih melihat pemandangan itu.

Masalah yang banyak dikemukakan, secara umum terkait dengan masalah fikih. Namun demikian, seperti telah disebutkan tadi, memang ada keterkaitan atau dampaknya bagi dakwah. Oleh karena itu, mungkin kita harus berusaha membahasnya dari dua pendekatan, yaitu pendekatan fiqih, dan pendekatan dakwah. Secara fiqih, masalah inipun harus dipandang dari dua sisi:

Hukum asal masalah mengojek bagi kaum wanita.
Hukum dharurat atau hajat masalah mengojek bagi kaum wanita.

Pada asalnya (pokoknya, prinsipnya), masalah mengojek bagi kaum wanita adalah tidak boleh. Dasarnya adalah terjadinya khulwat (berduaan) dan ikhthilath (berbaur dan berdekatan dengan sangat dekat sekali) antara wanita dan laki-laki lain yang bukan muhrim. Bahwa dalam ojek terjadi khulwat atau berduaan saja, sangatlah jelas, karena dalam ojek memang demikian, satu penumpang satu motor, berarti hanya berdua antara penumpang dan pengendara. Apalagi apa bila jalan atau perjalanan dalam keadaan sepi. Dan terlebih lagi bila hal ini terjadi di malam hari.

Bahwa dalam ojek terjadi ikhthilath juga sangat jelas, atau paling tidak, hubungan antara penumpang dan pengendara (tukang ojek) menjadi dekat. Terutama bila jalan yang dilalui rusak, sehingga si tukang ojek terpaksa atau sengaja mengerem kendaraannya secara mendadak.

Dan pastilah yakin kita semua telah mengetahui dalil yang melarang kita untuk berbuat khulwat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir, maka janganlah berduaan dengan seorang wanita yang di antara keduanya tidak ada hubungan mahram, sebab yang menjadi orang ketiga bagi keduanya adalah setan,” (HR. Ahmad).

Hukum seperti ini tetap berlaku kapan dan di mana pun berada, dan tidak ada pengecualian, kecuali bila darurat atau ada hajat. Darurat adalah satu kondisi di mana seseorang dihadapkan pada satu pilihan yang jika tidak dia penuhi pilihan itu, maka yang terjadi adalah al-halâk (kebinasaan, kematian, kehancuran), baik al-halâk itu terkait dengan al-dîn (agama), al-nafs (jiwa), al-`aql (akal), al-nasab (nasab) dan al-mâl (harta) seseorang. Sebagian ulama` menambahkan satu hal lagi, yaitu al-`irdh (harga diri dan kehormatan).

Dan dalam pandangan orang biasa, dalam kasus ojek mengojek ini masalahnya belumlah sampai ke tingkat darurat, wallahu a`lam. 

Karena memang dahulu ada becak yang banyak berjasa mengantarkan ibu-ibu pergi dan pulang dari pasar sekalian membawa barang belanjaan. Tapi kini becak sudah jarang sekali ada dan peranannya digantikan dengan ojek. Padahal bila dilihat dari sisi ikhtilat, becak lebih terlindungi. Karena posisi penumpang dan penarik beca itu dipisahkan dan berbeda posisi.

Sehingga tidak terjadi duduk berduaan. Sehingga kesimpulannya dalam hal ini, maka ojek bukanlah kendaraan yang memenuhi syarat untuk dinaiki oleh wanita, karena umumnya para pengemudi ojek itu laki-laki. Dan karena itu ikhtilat antara non mahram ini menjadi hal yang tidak mungkin dihindari. Sehingga kalaupun ingin dicarikan mubarrir, haruslah dengan alasan yang sangat kuat dan tingkat kedaruratannya harus jauh lebih tinggi.

Oleh karena itulah, ini adalah pe-er dan tantangan tersendiri bagi para muslimah yang harus dicarikan jalan keluarnya dengan cara yang sebaik-baiknya.